Jumat, 08 Maret 2013

Apa itu Tato?

Secara bahasa, tato berasal dari kata “tatau” dalam bahasa Tahiti. Menurut Oxford Encyclopedic Dictionary ~ tattoo v.t. Mark (skin) with permanent pattern or design by puncturing it and inserting pigment; make (design) thus ~ n. Tattooing (Tahitian tatau). Dalam Ensiklopedia Americana disebutkan bahwa tattoo , tattooing is the production of pattern on face and body by serting dye under the skin some anthropologists think the practice developed for the painting indication of status, or as mean obtaining magical protection (1975:312). Dalam bahasa Indonesia, istilah tato merupakan adaptasi, dalam bahasa Indonesia tato disebut dengan istilah “rajah”. Tato merupakan produk dari body decorating dengan menggambar kulit tubuh dengan alat tajam (berupa jarum, tulang, dan sebagainya), kemudian bagian tubuh yang digambar tersebut diberi zat pewarna atau pigmen berwarna-warni. Tato dianggap sebagai kegiatan seni karena di dalamnya terdapat kegiatan menggambar pola atau desain tato.

Seni adalah “karya”, “praktik”, alih-ubah tertentu atas kenyataan, versi lain dari kenyataan, suatu catatan atas kenyataan”. Salah satu akibat dari dirumuskannya kembali kepentingan ini adalah diarahkannya perhatian secara kritis kepada hubungan antara sarana representasi dan obyek yang direpresentasikan, antara apa yang dalam estetika tradisional disebut berturut-turut sebagai “forma” dan “isi” karya seni (Hebidge, 2005 : 235-236). Nilai seni muncul sebagai sebuah entitas yang emosional, individualistik, dan ekspresif. Seni menjadi entitas yang maknawi. Berkaitan dengan tato, ia memang dapat dikategorikan sebagai entitas seni karena selain merupakan wujud kasat mata berupa artefak yang dapat dilihat, dirasakan, ia juga menyangkut nilai-nilai estetis, sederhana, bahagia, emosional, hingga individual dan subjektif (Sumardjo, 2000: 15-18). Dalam “General Anthropology” milik Melville Jacobs dan Bernhard J. Stern, tato merupakan salah satu bentuk dari seni grafis (1952:260).

Menurut tulisan Hatib Abdul kadir Olong dalam “Tato”, disebutkan bahwa tato memiliki makna sebagai budaya tanding (counter culture) dan budaya pop (pop culture). Budaya tanding atau counter culture adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai ajang perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Dengan kata lain, tato secara ideal merupakan bentuk penantangan, protes politis, hingga perang gerilya semiotik terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan. (2006:27). Kebudayaan tandingan banyak menyebabkan perubahan sosial. Apakah kebudayaan tandingan ini menyebabkan perubahan atau hanya mencerminkan dan menarik perhatian pada perubahan-perubahan yang terjadi dapat diperdebatkan? Dalam suatu kejadian, beberapa perilaku kebudayaan tandingan yang “tidak patut” pada saat ini, akan berada di antara norma-norma kebudayaan masa mendatang (Horton, 1984:74).

Analogi yang kemudian dapat dilihat adalah terjadinya segregasi pandangan dan pemaknaan terhadap tato yang membawa kepermisivitasan. Komoditas tato akan mengakibatkan terjadinya gejala komersialisasi budaya populer yang mampu mengakibatkan matinya budaya tanding yang ada pada tato. Akibatnya, budaya tanding akan terjarah sendiri oleh pemaknaan baru. Komersialisai inilah yang membawa tato sebagai sebuah budaya pop. Budaya pop atau popular culture merupakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman) dan heterogenisasi (keragaman). Konsepsi keragaman (heterogenitas) dalam budaya pop juga diungkapkan bahwa terdapat dua pembagian terpisah dalam budaya populer, yakni : Pertama, budaya populer menawarkan keanekaragaman dan perbedaan ketika ia diinterpretasi ulang oleh masyarakat yang berbeda di lain tempat. Kedua, budaya pop itu sendiri dipandang sebagai sekumpulan genre, teks, citra yang bermacam-macam dan bervariasi yang dapat dijumpai dalam berbagai media, sehingga sukar kiranya sebuah budaya pop dapat dipahami dalam kriteria homogenitas dan standardisasi baku (Strinati, 2003:44-45). Fenomena tato menjurus ke budaya pop karena ia mulai terikat oleh formula produksi yang telah diuji dan digunakan oleh berbagai kalangan. Misalnya, iklan celana jins dengan seorang model yang menggunakan tato, musikus terkenal yang menggunakan tindik. Dalam hal ini, tato maupun tindik merupakan unsur pendorong semaraknya budaya pop dan budaya massa


anda ingin tau lebih lanjut... silahkan kunjungi - http://www.indonesiansubculture.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar